Oleh : Khairiyah Rizkiyah, SST, Fungsional Statistisi
pada Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara
Pada juni 2018, Badan Pusat Statistik mencatat Indonesia mengalami
inflasi sebesar 0,59 persen, dan inflasi tahunan (yoy) sebesar 3,12 persen.
Meski terjadi inflasi, opini tentang menurunnya daya beli masyarakat yang
tengah ramai beberapa bulan terakhir, terus mencuat. Hal ini kerap didukung
kabar gulung tikarnya konter-konter perusahaan ritel di Indonesia. Namun tidak
sedikit pula yang menganggap, keadaan ini sebagai efek shifting atau pergeseran ‘gaya beli’ konsumen, dari konvensional
menjadi online.
Daya Beli dan
Inflasi
Beberapa pihak kerap
kali menghubungkan inflasi yang rendah dengan turunnya daya beli. Namun sesugguhnya interpretasi
sedemikan langsung adalah keliru. Kepala BPS RI, Kecuk Suhariyanto, pada
konferensi pers 2 Juli 2018 yang lalu mengemukakan, Inflasi tahunan pada Juni 2018 yang terjaga
dan dibawah target inflasi yang sebesar 3,5 persen, merupakan akibat dari
terjaganya harga pangan yang didukung berbagai pihak.
Di sisi lain,para
ekonom menyebut bahwa menurunnya daya beli masyarakat, dapat dilihat dari
menurunnya inflasi inti yang terjadi. Namun perlu dipahami bersama, Inflasi
inti yang memang merupakan gambaran keadaan ekonomi antara supply dan demand, tidak
bisa diinterpretasikan sendiri tanpa melihat komponen inflasi lainnya, yaitu
inflasi volatile (dipengaruhi bahan
makanan) dan inflasi administered price
(dipengaruhi kebijakan harga pemerintah).
Jika memang daya beli
menurun, seharusnya juga ditandai dengan menurunnya inflasi di komponen lain,
karena harga selayaknya akan menyesuaikan permintaan. Permintaan yang menurun,
akan menggiring harga ikut turun. Namun pada Juni 2018, inflasi tetap ada dan
cenderung meningkat sesuai prediksi, karena bertepatan dengan hari raya
Lebaran. Pada Juni 2018, inflasi nasional terbesar terjadi pada kelompok
transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 1,5 persen. Sedangkan
kelompok bahan makanan menyusul dengan
inflasi sebesar 0,88 persen.
‘Gaya Beli ‘
Online
Dahulu, konsumsi
masyarakat akan terpusat pada toko, pasar, atau pusat perbelanjaan yang ada di
sekitar daerah tempat tinggal. Namun seiring perkembangan teknologi komunikasi,
kini berbagai lapisan masyarakat mampu mengakses informasi tentang berbagai
macam produk, bahkan produk yang mereka tidak pernah tahu keberadaanya
sebelumnya.
Beberapa pelaku ekonomi
memanfaatkan tren ini dengan membangun platform perdagangan online (e–commerce)
yang menyediakan berbagai macam barang
kebutuhan masyarakat. Mulai dari gadget, pakaian, hingga bahan makanan. Sebut
saja Tokopedia atau Lazada sebagai contohnya.
Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyebut pertumbuhan bisnis e-commerce
pada lebaran 2018 mencapai 190 persen secara tahunan (Tempo.co, 2018). Mirza
melanjutkan, hal ini menunjukkan adanya data-data ekonomi yang tidak terekam, dan adanya shifting di
bidang ritel. Hal ini juga didukung data pertumbuhan jasa pengiriman, yang
stabil tumbuh stabil 30 persen setiap tahunnya, dan disumbang sebanyak 80
persen oleh pengiriman barang ritel.
Kepala BPS RI, Kecuk
Suhariyanto menyebut, belum ada arahan
PBB mengenai pemantauan statistik harga perdagangan online. Ini
mengakibatkan belum dapat dilakukannya langkah lebih lanjut, semisal menangkap
pengaruh e-commerce pada inflasi. Menurutnya, hal seperti ini
membutuhkan standar, dan pemeriksaan keakuratan oleh lembaga internasional
(liputan6, 2018), selayaknya setiap statistik penyelenggaraan negara.
Meski demikian, BPS
mencoba mulai mengkaji fenomena shifting ini melalui pengolahan
statistik transaksi e-commerce, dengan menggandeng BI dan Indonesia E-Commerce
Association (IDEA) . Sebanyak 20 CEO
e-commerce telah ikut menyampaikan data transaksinya, namun belum
sepenuhnya lengkap. Hal ini dikarenakan kebutuhan format data dari BPS yang
cukup rigid, sementara pencatatan data tiap pelaku e-commerce
berbeda-beda.
‘Gaya Beli’
Malut
Perubahan ‘gaya beli’ juga tidak luput terjadi di Malut. Sebagian besar pelaku usaha di malut yang
melibatkan e-commerce, menjalankan perannya sebaga reseller.
Mereka mendatangkan barang dari Pulau Jawa dan sekitarnya ke Ternate secara
online untuk kemudian dijual kembali. Cara penjualannya pun bervariasi, mulai dari penjualan secara langsung ke
konsumen by order, ataupun melalui media sosial.
Konsumen yang ditargetkan
pun tidak hanya di Kota Ternate, melainkan di seluruh kabupaten/kota di Malut.
Inflasi di Malut pada Juni 2018
menunjukkan angka sebesar 1,71 persen,
dominan disumbang kelompok bahan makanan sebesar 5,90 persen, disusul
kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 2,27 persen.
Melihat fakta ini,
rasa-rasanya isu penurunan daya beli masyarakat bisa jadi hanyalah sekedar isu.
Karena terbukti masyarakat tetap melakukan konsumsi, hanya saja dengan gaya
yang berbeda. Fenomena shifting ini memang masih harus dikaji lebih
lanjut, pun hubungannya dengan inflasi. Namun demikian, fakta bahwa e-commerce
yang terus meningkat juga harus kita akui memiliki pengaruh. Hal ini diharapkan
mampu kita tangkap kedepannya, sehingga
gambaran perekonomian dapat terjelaskan secara utuh dan bukan cuma
disusun atas isu. (*)
*Telah dipublikasikan pada Harian Malut Post Edisi 11 Juli 2018
Artikel lainnya :
0 komentar:
Post a Comment